Erotika, Bumbu Abadi Perfilman Indonesia

Nurnaningsih, aktris pemeran adegan erotis pertama di sinema Indonesia
Nurnaningsih, aktris pemeran adegan erotis pertama di sinema Indonesia
Percintaan merupakan tema abadi dalam bidang kreatif. Bukan hanya dalam novel, tema itu juga merasuk ke dunia film. Dalam genre laga sekali pun, pasti tetap ada bumbu percintaan. Jika tidak mau naif, harus diakui bahwa itu pula yang terjadi pada tema seksualitas.

Bumbu itu juga tak lekang masa. Sejak film Indonesia masih hitam putih, sudah ada tubuh perempuan yang diekspos di layar lebar. Dalam film Harimau Tjampa yang rilis tahun 1954, misalnya, salah satu aktris utamanya telanjang dada selama beberapa detik yang menghebohkan.

Nurnaningsih, aktris itu kemudian dikenal sebagai bintang erotika pertama di Indonesia. Harimau Tjampa sendiri bukan film erotis. Ia hanya film laga yang berbumbu erotisisme.

Bumbu erotika dipilih bukan karena era Indonesia masih "primitif." Buktinya, berpuluh-puluh tahun kemudian bumbu yang sama masih ada di perfilman Indonesia, yang jatuh pada tanggal 30/3/2015 tepat berusia 65 tahun.

Lihat saja film Indonesia tahun 1970-an. Pada masa itu, muncul desakan agar sensor terhadap film Indonesia sedikit dilonggarkan. Film-film dengan bumbu seks pun kembali bermunculan. Ada Bernapas dalam Lumpur, yang rilis pada 1970 dan dibintangi aktris film horor, Suzanna.

Disebut-sebut, itu merupakan film pertama yang menonjolkan adegan seks dan memperlihatkan pemerkosaan. Film itu sempat menimbulkan kontroversi, sampai dilarang tayang. Namun tetap saja, ia sukses secara komersial. Sejak itu, banyak film bertema sama yang mengekor.

Ada film berjudul Tiada Maaf Bagimu, Manager Hotel, Di Balik Pintu Dosa, dan Mentjari Naga Hitam. Akhirnya, tahun 1972, pemerintah kembali menegaskan sensor untuk film erotis Indonesia.

Namun, tahun 1990-an televisi menjadi primadona. Perfilman Indonesia seakan mati suri. Kondisi makin sulit. Bahkan Festival Film Indonesia tahun 1993 tak diselenggarakan karena minim biaya produksi. Dalam kesempatan itu, erotika kembali diminati jadi jawaban.

Eksploitasi seks pun dimanfaatkan untuk menjaring penonton. Pada masa itu, muncul film dengan judul-judul panas di bioskop Indonesia. Beberapa di antaranya ;
  1. Gadis Metropolis (1992)
  2. Ranjang yang Ternoda (1993)
  3. Gairah Malam yang Pertama (1993)
  4. Pergaulan Metropolis (1994)
  5. Gairah Terlarang (1995)
  6. Akibat Bebas Sex (1996)
  7. Permainan Erotik (1996)
  8. Kenikmatan Terlarang (1996)
  9. Gejolak Seksual (1997)
Semua tersebut hanya menjual sensualitas dan seks semata.

Dan hingga Film Indonesia akhirnya mulai bangkit berkat Ada Apa dengan Cinta? pada 2002. Namun bukan berarti bumbu seks terlupakan. Itu masih merasuki perfilman nasional, biasanya dikolaborasikan dengan tema hantu. Alih-alih seram, film itu lebih banyak menampilkan dada dan bokong perempuan seksi ketimbang hantu.

Melihat dari penelusuran selama lebih dari delapan dekade yang dikutip dari berbagai sumber itu, tak berlebihan jika memprediksi film Indonesia bakal terus dihantui bumbu erotika. Apalagi jika lembaga sensor terus direcoki permasalahan internal.
Previous
Next Post »